BEBASBARU.ID, INTERNASIONAL – Sudah bukan rahasia lagi, PM Israel Benyamin ‘SetanNyahu’ sangat ogah ada gencatan senjata dengan Hamas.
Dengan alasan gencatan senajata justru bikin pasukan Hamas makin kuat dan memobilisasi pasukannya.
Padahal di sisi lain, selain ribuan warga Palestina terus di bantai, pasukan zionis sendiri teriak-teriak ketakutan di bantai pasukan Hamas.
Sebelumnya, di kutip BEBASBARU.ID dari CNN, Rabu (22/11/203), Israel dan milisi Hamas Palestina sepakat menerapkan gencatan senjata di Jalur Gaza sebulan lebih setelah keduanya berperang sejak 7 Oktober lalu.
Qatar, sebagai mediator keduanya, memaparkan bahwa gencatan senjata akan berlangsung selama empat hari ke depan dan mulai dalam 24 jam.
Sebelum kesepakatan tercapai, Israel keukeuh menolak gencatan senjata di Gaza, lantaran dinilai hanya akan memberikan waktu bagi Hamas untuk melancarkan serangan lebih lanjut ke wilayahnya.
Namun, diam-diam, negosiasi antara kedua belah pihak terus berlangsung yang ditengahi oleh Qatar dan dibantu Amerika Serikat serta Mesir.
Menurut dua pejabat yang terlibat dalam kesepakatan gencatan senjata, Qatar dilaporkan langsung berkomunikasi dengan Amerika Serikat. Tak lama setelah milisi Hamas melancarkan serangan ke Israel dan menyandera ratusan orang pada 7 Oktober lalu.
Dalam komunikasi itu, Qatar dan AS berembuk membentuk tim kecil yang akan membantu negosiasi pembebasan tawanan.
Saat itu, sekitar lebih dari 200 orang di Israel menjadi sandera Hamas, termasuk beberapa warga AS.
Upaya negosiasi dari Qatar dan AS ini dilakukan secara diam-diam terhadap Israel dan Hamas sampai Presiden Joe Biden turun langsung dalam pembicaraan diplomatiknya.
Pembentukan tim rahasia ini dimulai beberapa hari setelah 7 Oktober. Saat itu, negosiasi masih fokus membahas pembebasan para sandera lantaran mencakup banyak warga asing seperti Prancis, Inggris, hingga Thailand.
Meski begitu, Qatar disebut berupaya memasukkan topik gencatan senjata dalam setiap pembicaraan.
Biden juga disebut diam-diam menggelar sejumlah pembicaraan mendesak dengan Emir Qatar dan PM Israel Benjamin Netanyahu terkait sandera dan usulan gencatan senjata.
Pembicaraan ini melibatkan negosiasi melelahkan selama berjam-jam antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Direktur CIA Bill Burns, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan, hingga utusan AS untuk Timur Tengah Brett McGurk.
Sullivan mengarahkan McGurk dan pejabat Dewan Keamanan Nasional AS lainnya, Josh Geltzer, untuk membentuk tim kecil. Hal ini dilakukan tanpa memberi tahu badan-badan AS terkait lainnya karena Qatar dan Israel mendesak kerahasiaan yang ekstrem dalam perundingan ini.
Pada 18 Oktober, Biden pun bertolak ke Israel untuk berbicara empat mata dengan Netanyahu di Tel Aviv. Saat itu, pembebasan sandera dan bantuan kemanusiaan ke Gaza menjadi fokus pembicaraan keduanya.
Lima hari kemudian, pada 23 Oktober, Hamas sepakat membebaskan dua sandera warga Amerika.
Sejak itu, AS makin mengandalkan Qatar untuk menjadi mediator dalam negosiasi Israel-Hamas ini. Qatar memang telah lama menjadi negara mediator bagi beberapa konflik di Timur Tengah.
AS juga melihat peluang bahwa pembebasan sandera bisa lebih banyak lagi dengan negosiasi gencatan senjata hingga pertukaran tahanan.***