BEBASBARU.ID, INTERNASIONAL – PM Israel Benyamin Netanyahu makin pusing, di dalam negeri sendiri dapat tekanan, tapi sisi lain egonya juga tetap kuat.
Yakni malu mengakui kekalahan melawan pasukan Hamas, padahal segala daya upaya sudah mereka kerahkan.
Tapi fakta di lapangan, justru pasukan zionis makin hari makin banyak yang tewas, tak terhitung serdadu yang stres.
Pada 24 Oktober, ketika Israel siap melancarkan serangan darat di Gaza, AS mendapat kabar bahwa Hamas telah menyetujui parameter kesepakatan untuk membebaskan lebih banyak sandera.
Saat itu, AS pun meminta Israel menunda melancarkan invasi daratnya ke Gaza. Sikap AS ini pun membuat pejabat Gedung Putih dan Israel sempat berdebat sengit lantaran Tel Aviv ogah menundah invasi daratnya ke Gaza.
Israel berdalih tawaran dan persyaratan Hamas tidak cukup meyakinkan mereka untuk menunda invasi darat. Karena milisi Palestina belum memberikan bukti bahwa para sandera masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja.
Israel memandang posisi Hamas tidak jujur. Tel Aviv dan AS pun mendesak Hamas melalui Qatar dan Mesir untuk memberikan daftar sandera yang ditahan, informasi identitas mereka, dan jaminan pembebasan.
Biden juga beberapa kali menelepon perdana menteri Qatar diam-diam ketika tahapan pembebasan sandera mulai dilakukan.
“Prosesnya panjang dan rumit. Komunikasi sulit dan pesan harus disampaikan dari Doha atau Kairo untuk disampaikan ke Gaza dan sebaliknya,” kata para pejabat kepada Reuters.
Awal November, Hamas mengisyaratkan soal jaminan pembebasan 50 sandera untuk tahap pertama. Meski begitu, mereka masih menolak memberikan daftar identitas para sandera.
Pada 9 November, pejabat AS bertemu dengan pemimpin Qatar dan kepala intelijen Israel Mossad untuk membahas kesepakatan dengan Hamas.
Hambatan utama pada saat itu adalah Hamas belum secara jelas mengidentifikasi siapa yang ditahan.
Tiga hari kemudian, Biden menelepon Emir Qatar dan meminta untuk membujuk Hamas memberikan identitas 50 sandera yang bakal dibebaskan dalam tahap pertama kesepakatan.
Saat itu, Biden mengultimatum bahwa kesepakatan batal jika Hamas berkeras tak memberikan identitas para sandera.
Saat itu pula, Israel masih berkeras menolak gencatan senjata di Gaza. PM Netanyahu bahkan bersumpah perang bakal berlanjut sampai Hamas benar-benar hancur.
Namun, Biden menelepon Netanyahu pada 14 November dan mendesak Netanyahu menerima kesepakatan tersebut. Akhirnya, Netanyahu pun setuju setelah mendapat tekanan dari Biden dan juga publik Israel yang semakin banyak mengkritik pemerintah.
Biden pun mengutus McGurk menemui Netanyahu di hari yang sama dia menelepon sang PM Israel.
Salah satu pejabat yang menjadi sumber Reuters mengatakan saat keluar dari pertemuan, Netanyahu meraih lengan McGurk dan berkata “kita membutuhkan kesepakatan ini” dan mendesak Biden untuk menghubungi emir Qatar untuk persyaratan terakhirnya.
Pembicaraan dengan Hamas sempat terhenti lantaran akses komunikasi di Gaza sempat lumpuh total akibat gempuran Israel.
Biden berada di San Francisco untuk menghadiri KTT APEC saat pembicaraan dengan Hamas terputus. Dia langsung menelepon emir Qatar dan menekankan bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa mencapai kesepakatan.
Sumber menuturkan saat itu Emir Qatar pun berjanji kepada Biden bisa memberikan tekanan dan meloloskan kesepakatan.
“Presiden (Biden) bersikeras bahwa kesepakatan itu harus diselesaikan sekarang. Waktunya sudah habis,” kata seorang pejabat AS.
Sejak itu, negosiasi Hamas dan Israel pun semakin menunjukkan sisi terang hingga akhirnya kedua belah pihak sepakat menerapkan gencatan senjata empat hari dan membebaskan puluhan sandera.
Banyak pembicaraan lainnya yang berlangsung antara Hamas dan Israel dibantu oleh Qatar, Mesir, dan AS.***