BEBASBARU.ID, POLITIK – Semua parpol yang terdapat dan jadi peserta Pemilu 2029 yang akan datang, berhak mencalona Capres dan Cawapresnya.
Ini kado polik dari Mahkamah Konstitusi (MK) di awal Tahun 2025 ini, keputusan ini bisa jadi akan merubah konstelasi politik 4 tahun ke depan.
Ini setelah gugatan Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024.
Dikutip BEBASBARU.ID dari Liputan6.com Kamis (02/01/2025), Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan alasan mengenai putusan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang berada pada pasal 222 yang dihapus.
Sebelumnya, jika ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden maka partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat kursi parlemen minimal 20 persen atau memiliki suara sah nasional 25 persen.
Menurut Saldi, jika terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Berdasarkan pengalaman maka akan hanya muncul dua pasangan calon dan memudahkan polarisasi di masyarakat.
“Setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 pasangan calon.”
“Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden.”
“Masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi masyarakat yang terbelah yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia,” kata Saldi saat sidang putusan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (02/01/2025).
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” imbuh Saldi.
Saldi menambahkan, kecenderungan demikian dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.
Artinya, dengan membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017.
Maka berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.”
“Yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” jelas Saldi.
Selain itu, Saldi juga membawa fakta di beberapa Pemilu sebelumnya ketika terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Karena itu, setelah mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya,” Saldi.***