BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Perikemanusiaan, berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan. Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan keluar dari kota itu, namun sia-sia.
Pihak Mancu, atas perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu mengatur penjagaan ketat.
Menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus.
Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu, menjatuhkan perintah kepada semua perajurit.
Melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa.
Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat. Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan.
Menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa.
Maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan.
Hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut.
Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.
Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali.
Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru.
Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi di sana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani membunuh orang.
Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit Mancu yang galak-galak.
Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan orang perajurit itu.
Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka para perajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas buntalan-buntalan.
Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke situ, ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka.
Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh.
Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para perajurit yang merampas buntalannya.
Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.
Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik,
“Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita….” Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi…..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader