BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Entah berapa jam lamanya Siauw Bwee bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari sudah makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram.
Entah berapa ratus ekor burung telah dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung yang menjerit-jerit sambil menyerang.
Pandang matanya berkunang oleh bayangan burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya. Dia mulai lelah, kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya.
Celaka, pikirnya, tidak pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan burung-burung. Betapa memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan burung-burung!
Tiba-tiba di antara suara mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara manusia! Lirih saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di dekat telinganya.
“Sungguh keberanian dan kenekatan yang bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau berlindung ke air bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah daripada melawan dengan nekat?”
Siauw Bwee terkejut. Tidak, dia bukan sedang mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia mendengar suara manusia, seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan nasihat itu.
Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat!
Suhengnya dapat melakukan hal itu, dan dia pun kalau mau melatih diri, menggabungkan sin-kang dengan khi-kang, tentu akan dapat melakukannya pula. Suhengnya! Jantung Siauw Bwee berdebar.
Suhengnyakah orang itu? Ah, tidak mungkin. Suhengnya selalu bicara dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara orang itu sama sekali tidak halus dan ramah.
Bahkan setengah memakinya bodoh dan kalah cerdik oleh burung! Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa nasihatnya patut diperhatikan.
Maka ia lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang dan yang airnya agak dalam, kemudian setelah menggerakkan kedua tangannya membunuh burung-burung yang menyerangnya.
Ia lalu menjatuhkan diri ke dalam air rawa, menyembunyikan tubuhnya sampai ke atas mulut ke dalam air di bawah alang-alang.
Hidungnya mencium bau busuk alang-alang yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia tahankan.
Benar saja, burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang, tidak ada lagi yang menyerangnya.
Siauw Bwee merasa lega dan berterima kasih. Akan tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di atas alang-alang, agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang.
Burung sialan, ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh bukan hal yang menyenangkan, apalagi baunya amat tidak enak dan tubuhnya mulai merasa gatal-gatal.
Dua jam kemudian, setelah matahari makin turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya lagi, setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi.
Tiba-tiba burung-burung itu terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya.
Siauw Bwee meloncat dan keluar dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik, menggigil dengan jijik dan geli ketika….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader