BEBASBARU.ID, POLITIK – Wakil Rakyat yang berada di lembaga DPR kini paling ribut berteriak, soal permasalahan 3 ketua lembaga negara yang kini bermasalah.
Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri menjadi tersangka setelah di duga menerima suap dari eks Mentan Sharil Yasin Limpo.
Lalu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di dakwa melanggar etik, karena merubah usia Capres-Cawapres, menjelang Pemilu 14 Pebruari 2024.
Dan yang terbaru kasus asusila dan ini paling heboh, yang menimpa Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) RI, Hasyim Asy’ari, yang baru saja di pecat DKPP.
Pertanyaannya sekarang, kenapa orang-orang penting pilihan DPR selalu bermasalah dan bikin lembaga negara jadi ejekan rakyat Indonesia..?
Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik.
Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada DPR. Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.
Mengingat kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menyimpang, maka rakyat mengontrol DPR, baik secara individu maupun secara bersama-sama.
Rakyat jugalah yang akan meminta pertanggungjawaban DPR untuk menentukan apakah akan diberi mandat kembali atau tidak untuk masa jabatan berikutnya.
Oleh karena itu, suara rakyat kepada DPR adalah suara pemberi kekuasaan kepada yang bertugas melaksanakan kekuasaan itu, bukan suara untuk menghinakan DPR.
Hubungan DPR dengan rakyat adalah hubungan politik. Namun, DPR menggunakan pendekatan legalistik.
Rakyat yang bersuara—dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru—dicurigai akan merendahkan kehormatan DPR.
Rakyat tidak lagi dilihat sebagai pemberi kekuasaan, tetapi dilihat sebagai musuh.
DPR sudah agak keterlaluan! Sayangnya, Presiden pun, lewat Kementerian Hukum dan HAM, mengamini perilaku DPR keterlaluan itu.
Undang- undang itu bisa lahir karena persetujuan bersama DPR dan pemerintah (baca: Presiden).
Tampaknya para anggota DPR lupa bahwa di negara ini sudah disepakati bahwa yang berdaulat itu rakyat. Kita menganut daulat rakyat, bukan daulat DPR.
Para anggota DPR lupa atau pura-pura lupa kalau mereka adalah wakil rakyat. Secara politik mereka bukanlah pejabat, melainkan pelayan rakyat.
Kehormatan seorang pelayan rakyat terletak pada kemampuannya melakukan tugas pelayanan itu semaksimal mungkin.
Bukan dengan mengeluarkan aturan yang memaksa rakyat untuk menghormati mereka.
Mental anggota DPR masih mental ambtenaar (pejabat zaman kolonial) yang merasa kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia daripada rakyat.
Seharusnya anggota DPR itu merawat hubungan politiknya dengan rakyat, bukan mengembangkan pola hubungan yang legalistik melalui instrumen-instrumen hukum.
Apalagi instrumen hukum untuk melindungi kehormatan anggota dan lembaga DPR sebetulnya sudah ada. (sumber: antikorupsi.org)