BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Apa akal sekarang? Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek Siu-lam di kamar tahanan.
Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya.
Hauw Lam, Si Berandal! Ah, terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal.
Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam mencintanya.
Akan tetapi…. di sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain. Aihh, mengapa ia teringat yang bukan-bukan?
Bagaimana andaikata Hauw Lam yang menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia sekarang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw Lam.
Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu memperpanjang ancaman dan memperlebar kesempatan. Tiba-tiba ia menangis.
Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian gurunya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis sungguh-sungguh!
Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah ia melihat sumoinya menangis seperti ini.
Dahulu, semenjak mereka kecil, kalau mereka bertengkar , dialah yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis.
Akan tetapi sekarang menangis terisak-isak begitu menyedihkan! Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.
“Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis? Aku tidak akan menyakitimu, manis.
Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti…. eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu jagoan!”
Hiburan ini bukan mengurangi kesedihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini?
Ia dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akalnya!
“Suheng…., apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin? Suheng, lebih baik kaubunuh saja aku….“
Suma Kiat merangkul lebih erat, “Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaimana aku dapat membunuh orang yang paling kucinta di dunia ini?
Jangan khawatir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah, aku sayang kepadamu….” Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai membelainya.
Bahkan dengan gerakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai…..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader