BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat.
Tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu.
Akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan.
Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu.
Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan.
Dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan!
Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat.
Karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu.
Teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra.
Sejak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu. “…. kosong melengang….” pikiran melayang mengejar kenangan dihimpit kesunyian….
Seperti iblis mentertawakan bunyi daun berkelisik kerik jengkeri kerok katak kokok burung hartu di luar bising…. namun betapa sunyi melengang terasa di dalam seribu suara malam menambah rasa kesepian….”
Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus.
Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.
“Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh.
Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi.
Aihhhh….” Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya.
Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian.
Adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sckelilingnya. Melihat …..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader