BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – “Teecu hendak melapor, ada musuh datang!” Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata. “Heh, keparat!” Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu.
Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.
“Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?”
“Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan.
Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!”
Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.
“Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?” “Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama),” jawab seorang pembantunya. “Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga.”
“Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka.”
“Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat.
Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?” “Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya.
Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?” “Mereka mendaki dari lereng sebelah utara.”
“Aku tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka.”
Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun.
Seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok. Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara.
Dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa.
Dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san.
Mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan…..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader