BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Tenang mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang murid nya.
Namun dengan sikap tenang ia berkata, “Omitohud…., Ji-wi Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Kedua murid itu masih muda dan belum berpengalaman.
Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok murid -murid ku tersebut.”
“Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,” kata Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali.
Karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biarpun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat.
Hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat.
Biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka.
Untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
“Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami,” Kam Siang Kui berkata penuh permohonan.
“Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya.” Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang.
“Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pernbunuhan.
Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!”
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya.
Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.
***
Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng.
Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya.
Sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk melepaskan diri. Cui Leng memandang kepada sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader