BEBASBARU.ID, DAERAH – Kelakuan Mendagri Tito Karnavian yag beitu konyol dan berani memasukan 4 pulau ke Sumatera Utara memicu kemarahan warga Aceh, termasuk Gubernurnya.
Bahkan yang bikin warga Aceh meradang adalah ucapan Gubernur Sumut Bobby Nasution yang bilang ingin sama-sama Aceh kelola ke 4 pulau itu, seolah-lah dengan satu lembar surat Mendagri Tito, pulau ini sudah sahih masuk Sumut.
Bahkan kini Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) ikuta bersuara keras dengan ulah Mendagri Tiito Karnavian dan juga Gubsu Boby Nasution itu.
Di kutip BEBASBARU.ID dari infoaceh.net, Sabtu (14/06/2025), JK menyebut usulan tersebut tidak realistis dan tidak sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
“Tidak ada itu wilayah yang dikelola dua pemerintah daerah. Masak dua gubernur? Pajaknya bayar ke mana?” ujar JK dalam konferensi pers di kediamannya, Jakarta Selatan, Jum’at (13/6/2025).
Ia menilai, wacana tersebut justru memperumit masalah, bukan menyelesaikannya. JK menegaskan bahwa dari sudut pandang Aceh, persoalan ini menyentuh urusan fundamental.
“Bagi Aceh, ini bukan sekadar soal wilayah, tapi soal harga diri. Kenapa diambil? Ini soal kepercayaan kepada pemerintah pusat,” tegas tokoh asal Sulawesi Selatan itu.
Menurut JK, pemerintah pusat seharusnya bisa mengambil sikap tegas dan adil dalam menyelesaikan persoalan ini.
Ia juga menyoroti bahwa tidak ada potensi kekayaan alam signifikan di keempat pulau tersebut yang bisa menjadi alasan perebutan.
“Tidak ada minyak, tidak ada gas. Mungkin suatu saat nanti ada, tapi hari ini tidak ada. Jadi jangan dibesar-besarkan,” ujarnya.
Gagasan pengelolaan bersama sebelumnya dilontarkan Bobby Nasution. Ia menyebut jika empat pulau itu nantinya sah masuk wilayah Sumut, ia akan mengajak Aceh untuk mengelolanya bersama.
“Kalau statusnya resmi milik Sumut, saya akan ajak Aceh untuk sama-sama mengelola apa pun yang ada di dalamnya,” kata Bobby di Medan, Kamis (12/6/2025).
Namun, pernyataan itu justru memicu respons keras dari berbagai pihak, termasuk dari Jusuf Kalla, yang menilai wacana tersebut tak memiliki pijakan hukum yang kuat.***