BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh. Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.
“Trangggg!” Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan.
Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es.
Tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh!
Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring.
“Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!” Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.
“Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!” Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.
“Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu,” bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya.
“Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!” Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain.
Setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-mas ing.
Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan.
Jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti.
Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda.
Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
“Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!”
Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.
“Satu lawan satu!” terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding.
Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya, “Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!”
Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.
Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam.
seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya. …..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader