BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya. Gemas dinasehati malah ngeyel.
Adapun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh.
Belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap apalagi saat dinasehati Kian Ti Hosiang.
Maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
“Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?”
“Suma Hoat, bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.
“Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang.
Dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
“Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak menasehati aku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?”
Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba saat dinasehati.
Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya!
Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
“Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita?
Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka.
Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat.
Setelah apa yang kaulakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”
Wajah Suma Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?” Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini.
Karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu.
Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat! Kian Ti Hosiang menghela napas panjang.
“Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”
“Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?” Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”
“Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?” Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak ….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader