BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Tetapi dia tidak berpemandangan sepicik sucinya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat.
Jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya. Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat.
Maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja.
Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai, ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan.
Yang datang menyambutnya dengan heran melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri,
“Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biarpun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda?
Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee.
“Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang.
Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?” Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur,
“Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biarpun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak.
Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana.
Dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar!
Ia tersernyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andaikata aku sampai dilemparkan dan mati sekalipun.”
“Nona….!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwree berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh dan ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya.
Ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang menggoyang-….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader