BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan! “Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,”
Demikian penutup surat yang panjang lebar itu. “Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami.
Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat.
Dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.”
“Kwi Lan….!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah.
Dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata.
“Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu.
Maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”
“Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati.
Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”
“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”
“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup.
Melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap.”
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya.
“…. Andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata.
“Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!”
Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. ….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader