BEBASBARU.ID, KRIMINAL – Banyaknya yang terlibat dengan pembunuhan Muhammad Ilham Pradipta (37), mantan Kacab BRI, menimbulkan spekulasi, kalau Dwo Hartono Cs ini bukan kelompok jahat sembarangan.
Bahkan komlotan ini di duga sudah beroperasi lama dan miliki link dengan orang-orang tertentu yang paham alur keuangan di bank-bank di Indonesia.
Kuasa hukum keluarga korban, Boyamin Saiman, menilai kelompok yang dikaitkan dengan Dwi Hartono bukan sekadar mencari rekening dormant, melainkan terhubung pada aksi pembobolan bank bernilai fantastis.
Menurut Boyamin yang di kutip BEBASBARU.ID dari pikiranrakyat.com, Minggu (21.09/2025), ada indikasi kuat jaringan tersebut pernah berhasil menguras dana hingga ratusan miliar rupiah dari bank lain dengan pola operasi serupa.
“Rekening dormant biasanya kecil, seperti milik pensiunan. Tapi dari jejak yang kami temukan, kelompok ini terhubung ke pembobolan besar, nilainya bisa ratusan miliar,” ujarnya di Polda Metro Jaya, Kamis (18/9/2025) lalu.
Boyamin mengaku melakukan pelacakan independen selama dua hari terakhir. Dari hasil penelusuran, ia menduga kelompok yang sama pernah mengeksekusi skema pembobolan lewat kerja sama dengan orang dalam bank.
Polanya tidak sederhana, melainkan mencakup manipulasi otorisasi pejabat cabang, penempatan rekening penampungan, hingga transfer dana ke luar negeri.
“Kalau hanya teller tak mungkin. Ini levelnya lebih tinggi, ada otorisasi yang dipalsukan atau tanda tangan kuasa yang dimanipulasi. Jadi uang dalam jumlah besar bisa dipindahkan dalam waktu singkat,” jelasnya.
Kecurigaan semakin kuat setelah ditemukan kartu nama milik Ilham di tangan pelaku. Boyamin menegaskan kartu itu bukan kebetulan, melainkan pernah diberikan korban saat menawarkan layanan bisnis seperti EDC atau QRIS.
Hal ini diyakini menunjukkan adanya komunikasi awal yang mengarah pada perencanaan matang. Selain itu, ia juga mengungkap adanya salah satu pelaku yang mendatangi kantor cabang, bersikeras ingin bertemu pimpinan meski tidak membawa KTP maupun rekening.
“Itu bukan tindakan acak. Jelas ada target yang sudah dipetakan,” tambah Boyamin.
Ia mendesak penyidik membuka seluruh rekam komunikasi korban dengan para pelaku, termasuk melalui data telekomunikasi. Dengan begitu, alur perencanaan dan kemungkinan aktor intelektual bisa terlihat jelas.
“Kalau rekam data itu dibuka, akan tampak siapa yang merancang semuanya sejak awal,” tegasnya. Boyamin juga mempertanyakan alasan kelompok ini memilih operasi di Jakarta, bukan di daerah kecil yang simpanannya terbatas.
Menurutnya, hal itu semakin menguatkan dugaan bahwa sasaran mereka adalah rekening dengan nilai jumbo, bukan sekadar simpanan dormant.***