BEBASBARU.ID, NASIONAL – Buntut ratusan Kepala Desa yang menggeruduk Kantor Kementerian Keuangan kini para Kades siap-siap keuangan dana desanya akan di audit.
Presiden Prabowo yang geram dengan ulah para Kades itu, kini sudah perintahkan Kejaksaan dan Inspekstorat segera bekerja audit ADD tersebut tanpa kecuali.
Kalau di temukan penyimpangan atau di korupsi, sudah bisa di pastikan resikonya adalah penjara.
Audit ini mencakup verifikasi dokumen anggaran, inspeksi proyek infrastruktur, dan evaluasi program pemberdayaan masyarakat, dengan tujuan meningkatkan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas tanpa mencari kesalahan individu.
Langkah ini diharapkan memastikan Dana Desa digunakan tepat sasaran, mendorong pembangunan lokal, membuka lapangan kerja, dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat desa.
Sebelumnya, Undang-Undang Desa menjadi angin segar bagi Kepala Desa (Kades) di seluruh Indonesia. Kesejahteraan Kades dan perangkat desa boleh jadi akan sejahtera.
Kades bakal menerima penghasilan tetap. Tidak hanya itu, anggaran dana yang mengalir ke desa diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat desa.
Konsekuensinya, Kades harus melaporkan dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana anggaran desa kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, dana yang mengucur ke desa diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Sad Dian Utomo dalam siaran persnya kepada hukumonline.
Dalam Pasal 72 UU Desa menyatakan, “Anggaran desa ditetapkan minimal 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Kades sebagai pengelola dana desa mesti siap memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada negara. Setidaknya, mesti siap dilakukan audit oleh BPK.
Utomo berpendapat, Pasal 72 UU Desa merujuk pada UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Dana anggaran desa merupakan bagian keuangan negara, maka penggunaanya harus diaudit BPK.
“Sedangkan, PP No 72 tahun 2005 tentang Desa menjelaskan kewajiban membuat laporan tentang penyelenggaraan pemerintahan ada di pundak Kepala Desa,” katanya.
Menurut Utomo, selama ini Kades tak pernah diaudit oleh BPK, lantaran tak menggunakan dana secara langsung dari APBN.
Atas dasar itulah, Utomo khawatir para Kades tidak memiliki kapasitas dan kemampuan menghadapi audit BPK.
“Kekhawatiran dengan adanya audit BPK dan terjerat oleh kasus hukum, akan membuat para Kepala Desa tidak mengajukan Anggaran Desa karena takut akan menjadi tersangka korupsi karena kesalahan pembuatan laporan,” katanya.
Kemungkinan, lanjut Utomo, para Kades akan meminta pemerintah supaya audit BPK ditiadakan.
Dia berharap pemerintah tak menganakemaskan para Kades dengan meniadakan audit BPK terhadap penggunaan anggara desa.
Soalnya, dengan meniadakan audit BPK akan memperbesar peluang terjadinya korupsi.
Menurutnya, yang dapat dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah melakukan peningkatan kapasitas dan kemampuan pada Kades.
“Sehingga mereka sadar hak dan kewajiban mereka terhadap pengajuan dan penggunaan dana Anggaran Desa, serta sanggup membuat laporan dan mempertanggungjawabkan kepada BPK,” katanya.
Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa berpendapat, seluruh penggunaan anggaran dana yang berasal dari APBN dan APBD wajib diaudit BPK. Penggunaan keuangan negara baik di tingkat pusat maupun desa tidak terlepas dari audit BPK, termasuk desa.
“Semua uang yang betsumber dari APBN dan APBD wajib diaudit oleh BPK,” ujarnya melalui pesan pendek kepada hukumonline.
Politisi Partai Golkar itu menambahkan, hasil audit BPK diserahkan ke DPR, DPRD atau ke penegak hukum di pusat dan daerah. Langkah itu dilakukan untuk menindaklanjuti sepanjang ditemukan adanya temuan dugaan penyimpangan anggaran dana desa.
Atas dasar itulah, Agun meminta pemerintah segera menerbitkan peraturan tentang penggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban terkait kucuran dana dari APBN maupun APBD ke desa.
Selain menerbitkan peraturan turunan dari UU Desa, penguatan kapasitas dan kemampuan Kades perlu diberikan pemerintah kepada Kades dan perangkat desa.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil berpendapat pemerintah harus segera membuat peraturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka meminimalisir dan mencegah penyelewengan anggaran, Kemendagri perlu memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas kemampuan para Kades.
Nasir berpendapat, pelatihan pengelolaan alokasi anggaran desa, diharapkan dapat dikelola dengan baik agar terhindar dari praktik korupsi.
Ia berharap, UU Desa yang dibuat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Bukan sebaliknya membuat Kades terjerumus korupsi.
“Jangan sampai dengan UU ini malah nanti Kades masuk penjara,” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.***







