BEBASBARU.ID, KRIMINAL – Masih banyak Kepala Desa (Kades) yang ijo matanya setelah ADD berangka miliaran, akibatnya banyak yang kalap, gunakan beragamcara untuk korupsi dana desa tersebut.
Yang paling banyak adalah, mereka lakukan proyek fiktif, sehingga bisa korupsi dana desaa tersebut.
Namun, aparat hukum agaknya masih punya hati nurani, untuk berantas aksi tak terpuji oknum Kades-kades tersebut.
Adalah di Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, digemparkan dengan sebuah operasi tangkap tangan (OTT) besar-besaran.
Sebanyak 22 orang, termasuk 20 kepala desa, camat desa, dan Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) setempat, terjaring dalam OTT Kejaksaan Tinggi Sumsel.
Begini kronologi 20 kades ditangkap yang mengungkap dugaan penyalahgunaan dana desa.
Dana desa tersebut dilaporkan untuk menyuap aparat penegak hukum (APH). Uang tunai Rp 65 juta pun disita sebagai barang bukti.
Kronologi 20 kades ditangkap ini bermula dari laporan mengenai praktik pungutan liar (pungli). Pungutan liar ini melibatkan Anggaran Dana Desa (ADD) di Kecamatan Pagar Gunung.
Laporan itu diterima pada Kamis sore, 24 Juli 2025. Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumatera Selatan, Adhryansah, mengungkapkan kejadian ini.
Dalam sebuah forum internal yang digelar oleh Ketua Forum Apdesi Pagar Gunung, para kepala desa diundang. Tujuan forum ini adalah membahas rencana penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di desa masing-masing.
Namun, dalam kesempatan itu, Ketua Forum Apdesi Pagar Gunung menyampaikan hal yang mengejutkan. Ia meminta setiap kepala desa untuk menghimpun dana desa.
Dana itu diduga akan diserahkan kepada oknum aparat penegak hukum (APH). Berdasarkan perkembangan sementara, dari pertemuan itu, ketua forum meminta para kepala desa untuk menyerahkan uang senilai Rp 7 juta per desa.
“Ini masih kami dalami. Dugaan awalnya, pengumpulan dana itu diinisiasi oleh Ketua Forum APDESI. Tidak semua kepala desa menyanggupi, tapi sejumlah uang sudah terkumpul,” kata Adhryansah dikutip dari Tribun Timur, Sabtu (26/7/2025).
Ia menambahkan, “Uang yang diberikan oleh Kades tersebut terindikasi dari anggaran dana desa yang masuk dalam keuangan negara. Terkait permintaan uang Rp 7 juta ini, tidak semua Kades memenuhinya.”
Pada saat OTT berlangsung, tim Kejati Sumsel berhasil menyita uang tunai sebesar Rp 65 juta. Uang tersebut dijadikan barang bukti untuk menyelidiki aliran dana yang mengalir ke APH.
Namun, Kejati Sumatera Selatan belum mengungkapkan dari instansi mana APH tersebut berasal.
OTT ini dilakukan atas perintah, izin, dan persetujuan Kepala Kejati Sumsel Yulianto. Tindakan ini dilakukan karena ada dugaan aliran dana desa untuk aparat penegak hukum.
Kasi Penkum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, menyatakan bahwa 22 orang yang diamankan dalam OTT tersebut sedang menjalani pemeriksaan di Kejati Sumsel.
“Untuk perkembangannya nanti kami sampaikan lagi informasinya,” tambah Vanny dikutip dari Kompas.com.
Sejauh ini, Adhryansah menuturkan, 22 orang yang terjaring dalam OTT itu masih berstatus saksi. Tim penyidik dari Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Sumsel masih mendalami dugaan aliran dana kepada oknum aparat penegak hukum tersebut.
Mereka pun masih menelusuri sudah berapa kali praktik itu dilakukan.
“Kami masih mendalami dugaan kasus ini,” kata Adhryansah.
“Terutama berkaitan dengan mencari bukti permulaan yang cukup agar bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan. Mudah-mudahan, dalam waktu dekat, kami bisa segera menentukan status hukum terhadap pihak-pihak yang bersangkutan,” tambahnya.
Secara umum, Adhryansah menganggap pemahaman para kepala desa mengenai aturan hukum terkait masih sangat rendah. Untuk itu, dia menilai pihak kejaksaan perlu mendampingi para kepala desa agar tidak mudah terjebak dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Tindakan yang kami lakukan saat ini merupakan bagian dari pencegahan,” ujarnya. “Agar dana desa bisa dikelola sesuai ketentuan yang berlaku.”
Adhryansah menegaskan, penindakan ini harus dijadikan pelajaran. Pihak terkait tidak boleh menanggapi permintaan dari APH yang menyalahgunakan dana desa.
Para pihak terkait pun harus belajar menggunakan anggaran dana desa (ADD) sesuai Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) serta segera meminta pendampingan kepada Kejaksaan Negeri setempat.
Ini melalui program jaga desa di seksi intelijen maupun pendampingan hukum oleh bidang perdata dan tata usaha negara. Tujuannya, agar tata kelola desa terhindar dari praktik korupsi.
Kronologi 20 kades ditangkap ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak terkait. Ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa. ***