BEBASBARU.ID, KRIMINAL – Sosok Jaksa yang sejak lama jadi sorotan karena lebih gila memainkan hukum benar-benar bikin geram semua kalangan.
Kini apa yang di geramkan warga, terbukti terang benderang, adalah Albertinus Parlinggoman Napitupulu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan (Kalsel) kena operasti tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi), Kamis (18/12/2025) lalu.
Albertinus Napitupulu adalah Kajari HSU yang menjabat sejak Juli 2025. Ia pernah menerima suap 50000 dollar terkait pengurusan pajak. Kini ia memeras kepala dinas.
Di kutip BEBASBARU.ID, dari Tribunnews,Minggu (21/12/2025), Albertinus P Napitupulu baru menjabat sekitar lima bulan sejak Juli 2025.
Padahal, belum lama ini mendapat penghargaan karena membantu BUMDes mendapatkan sertifikat halal produk buatan masyarakat.
Kajari HSU Albertinus juga sempat menyampaikan hasil penindakan korupsi di HSU selama 2025 pada hari anti korupsi seduania belum lama ini
Albertinus juga menyampaikan komitmen pemberantasan korupsi di HSU pada 2026, dimana setidaknya ada tiga kasus yang ditangani.
Dari informasi yang didapat Albertinus sempat mengajukan cuti pada 22 Desember dalam rangka peringatan natal dan tahun baru. Albertinus menggantikan Agustiawan Umar di HSU.
“Saya prinsipnya ingin berkontribusi positif untuk daerah ini, berguna untuk masyarakat di daerah ini,” ucap Albertinus pada acara pisah sambut di Aula Dr KH Idham Chalid, Sabtu (26/7/2025).
Sebelumnya Albertinus menjabat Kajari Tolitoli di Provinsi Sulawesi Tengah.
Pria berdarah Batak yang akrab disapa Lae itu, jelang akhir tahun 2024, berhasil pulihkan keuangan negara sebesar Rp1,3 miliar lebih dari perkara tindak pidana korupsi.
Tak Ada Kapok-kapoknya Mainkan Kasus, Pernah Terima 50.000 Dolar AS
Albertinus pernah terlibat kasus suap saat masih jadi jaksa tahun 2013. Jaksa Albertinus Parlinggoman Napitupulu dinyatakan terbukti menerima 50.000 dollar AS dari dua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak, Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto.
Uang tersebut berasal dari Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta, Handoko Tejowinoto. Kasus pajak perusahaan itu ditangani oleh Dian dan Eko.
“Terdakwa I dan terdakwa II (Dian dan Eko, Red) menerima uang sebesar 50.000 dollar AS yang selanjutnya diberikan kepada Albertinus Parlinggoman Napitupulu,” kata hakim Anwar dalam sidang putusan untuk perkara Dian dan Eko, Selasa (17/12/2013).
Dian dan Eko dinyatakan terbukti menawarkan kepada Handoko, penghentian pemeriksaan pajak oleh tim bukti permulaan. Syaratnya, imbalan Rp 25 miliar.
Handoko hanya menyanggupi Rp 1,2 miliar, yang kemudian disepakati. Handoko menyerahkan 120.000 dollar AS kepada Dian dan Eko di rumah makan Soto Kudus di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta.
Eko dan Dian masing-masing menerima 50.000 dollar AS. Sisanya sebesar 20.000 dollar AS diberikan kepada Albertinus.
Setelah pemberian itu, Dian dan Eko kembali menghubungi Handoko meminta bantuan dana untuk proses penyelesaian perkara PT Gentha Dunia Jaya Raya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Handoko kemudian memberikan 30.000 dollar AS di tempat yang sama dengan lokasi penyerahan uang sebelumnya.
Uang yang diterima Dian dan Eko kembali diberikan kepada Albertinus atas sepengetahuan seseorang bernama Heru Sriyanto.
Dalam kasus ini, Eko dan Dian divonis masing-masing 9 tahun penjara dan denda masing-masing Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Hakim menilai keduanya terbukti menerima suap 600.000 dollar Singapura untuk pengurusan pajak PT The Master Steel, Rp 3,25 miliar terkait pengurusan pajak PT Delta Internusa, dan sebesar 150.000 dollar AS untuk pengurusan kasus pajak PT Nusa Raya Cipta.
Albertinus Napitupulu sebelumya dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta akibat suap tersebut.
Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung Mahfud Manan mengatakan, Albertinus dimutasi ke Kejagung untuk mempermudah proses pemeriksaan.
Penyidik Kejagung juga berencana memeriksa Dian dan Eko yang diduga memberikan suap kepada Albertinus.
“Langkah ini guna mencari tahu secara persis tentang dugaan pemberian sesuatu kepada jaksa Albertinus Napitupulu,” kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Jumat (17/1/2014).
Peras Kepala Dinas di HSU
Dalam kasus OTT KPK ini, Albertinus Napitupulu dalam kasus dugaan pemerasan sejumlah kepala dinas (kadis) di wilayahnya.
Kejahatan itu dilakukan bersama Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari HSU, Asis Budianto, dan Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Kejari HSU, Tri Taruna Fariadi.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan Albertinus berani menghubungi langsung kepala daerah dan mengancam akan menindaklanjuti aduan masyarakat dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Laporan LSM itu ternyata hanyalah akal-akalan Albertinus untuk memperoleh uang dari kadis.
“Berdasarkan keterangan dari kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), tidak ada perkara atau pengaduan yang sedang ditangani di situ (Kejari HSU).”
“Jadi ada seolah-olah laporan kemudian ditindaklanjuti tindak laporannya bahwa ada permasalahan di SKPD tersebut. Lalu dihubungilah kepala SKPD-nya (oleh Albertinus), jadi jika tidak memberi sesuatu (uang), maka laporan tersebut akan ditindaklanjuti,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025).
Albertinus diduga mulai memeras para kades sejak November 2025 atau tiga bulan setelah dia dilantik menjadi Kajari HSU.
Dan dari pemerasan ini dia mendapatkan uang sekira Rp 804 jjuta.
“Setelah menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara pada Agustus 2025, Saudara APN diduga menerima aliran uang sekurang-kurangnya sebesar Rp804 juta secara langsung maupun perantara,” katanya.
“Bahwa penerimaan uang tersebut dari dugaan tindak pidana pemerasan APN kepada sejumlah perangkat daerah di Hulu Sungai Utara diantaranya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD,” sambung Asep.
Dia mengatakan uang hasil pemerasan oleh Albertinus itu terbagi dalam dua klaster berdasarkan perantara yang menerima uang tersebut.
Adapun Taruna menerima uang hasil pemerasan dari Kepala Dinas Pendidikan HSU, RHM sebesar Rp270 juta dan Direktur RSUD HSU, FVN sebesar Rp235 juta.
Sementara, Asis memperoleh uang dari Kepala Dinas Kesehatan HSU, YND sebesar Rp149,3 juta. Asep turut mengungkap uang yang pernah diterima Taruna yaitu sebesar Rp1,07 miliar.
“Rinciannya pada tahun 2022 (uang diperoleh) berasal dari mantan Kepala Dinas Hulu Sungai Utara Rp930 juta. Kemudian pada tahun 2024 yang berasal dari rekanan sebesar Rp140 juta,” tuturnya.
Asis turut melakukan pemerasan seperti Albertinus pada Februari-Desember 2025 kepada kepala dinas lainnya dan memperoleh uang sebesar Rp63,2 juta.
Potong Anggaran hingga Buat Perjalanan Dinas Fiktif
Selain pemerasan, Albertinus turut melakukan pemotongan anggaran di Kejari HSU untuk kepentingan pribadi.
“APN juga diduga melakukan pemotongan anggaran Kejari Hulu Sungai Utara melalui bendahara untuk dana operasional pribadi,” kata Asep.
Adapun uang itu berasal dari pencairan Tambahan Uang Persediaan (TUP) sebesar Rp257 juta tanpa adanya Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dan pemotongan dari para unit kerja atau seksi.
“Keterangan ini disampaikan oleh bendahara yang bersangkutan (Albertinus),” tutur Asep.
Sumber uang haram yang diperoleh Albertinus juga berasal dari penerimaan lainnya seperti uang yang langsung ditransfer ke rekening istrinya sebesar Rp405 juta.
Serta Kadis PU HSU dan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD HSU dengan total nilai Rp45 juta.
Saat OTT dilakukan, KPK turut mengamankan barang bukti uang tunai sebesar Rp318 juta yang disita dari rumah pribadi Albertinus.***







