BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – “Mau apa sih?” Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran.
Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda-kuda Vang pernah ditatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin.
Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok.
Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong.
Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya?
Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.
Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok.
Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya.
Kumisnya panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh, seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling.
Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini.
Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini!”
Memang aneh kalau seorang guru menyebut “kongcu” atau tuan muda kepada muridnya.
Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu.
Namun, hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar.
Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela……BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader



