BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat.
Memang Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang menggairahkan.
Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi.
Sedangkan para pelayan yang melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang.
Sie Bun An sendiri yang masih berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
“Taijin…. ampun….” Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu. “…. lepaskan…. ohhh, ampun, saya…. adalah wanita baik-baik….”
Sebagai jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus. “Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha!”
Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut, sebagian tumpah mengenai pakaiannya.
Arak merah itu membuat pakaiannya yang putih seperti terkena darah.
Han Han menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada saat itu.
Ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan perutnya yang seperti gentong gandum.
“Ha-ha-ha, kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentti puterinya ranum dan segar. Cocok untukku! Biar kujemput dia!”
Sambil berkata demikian, perwira brewok itu sambil tertawa-tiwa melangkah masuk melalui pintu dalam.
“Ha-ha-ha, baik sekali! Jemput dia, jemput dia….!” sorak perwira lain.
“Ohhh, uuuhhhhh….!” Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar.
Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis!
Alangkah lemahnya ayahnya itu! Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela kebenaran.
Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang eng-hiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing penjilat.
Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat! Bukankah peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama?
Kulit harimau berharga, nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada harganya sama sekali.
Terdengar jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih.
Gadis yang cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya putih seperti susu baru diperas.
Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan…….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader