BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan sesuatu.
Si Pembesar Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya.
Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang mengerikan.
Han Han membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya, kini ia menjenguk dari pintu belakang.
Terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu, di mana
Ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka.
“Sie Bun An!” terdengar pembesar brewok mem bentak sambil menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?” Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han.
“Kaukira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?”
Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur mereka.
“Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!”
“Ha-ha-ha! Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis!” berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil.
“Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Manco yang jaya!” kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering.
“Tapi…. tapi….!” Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas. “Hal itu ti…. tidak mungkin…. ampunkan kami, Taijin….”
Melihat ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras keluar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama sekali karena malu dan kecewa.
Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya.
Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ.
“Kau membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala!”
Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu.
Siap memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan, menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak menjerit.
Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot.
“Tahan….!” Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari dalam. “Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba….! Biarlah hamba melayani Taijin….”
Tujuh orang perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak.
Ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.
“Benar cantik….! Masih cantik, montok dan harum….! Hemmm….!” Perwira muka kuning itu…….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader