BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!” Siauw Bwee marah sekali. “Aku tidak sudi!
Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng.” Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat keluar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, “Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!”
Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es.
Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suhengnya.
Mungkin suhengnya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari “ilham” menghadapi persoalan yang ruwet itu.
Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum meninggalkan pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya.
Apalagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki
Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun kekuatan mereka seimbang.
Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak sucinya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan malapetaka hebat.
Andaikata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suhengnya?
Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan sucinya yang juga menjadi saingannya itu.
Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apalagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan.
Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya.
Ia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, memanggil suhengnya,
“Kam-suheng….!”
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru.
Namun, tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
“Suheng….!”
“Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!”
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
“Suci, mau apa engkau?”
“Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!”…….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader