BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya?
Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.”
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar.
Ucapan sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang.
Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
“Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta!
Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan.
Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata!
Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah?
Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!”
“Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?” Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar
kekasihnya disebut pengecut.
“Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita berdua menjadi isterinya.
Tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!”
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. “Maksudmu….?” tanyanya untuk mendapat ketegasan.
“Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu tingkatku lebih tinggi darimu.
Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!”
“Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi…. kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh?
Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina….”
“Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang bekas panglima perang.
Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang.
Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng…….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader