BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
“Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya…., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda.
Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan….”
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing.
“Suheng…. eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu?
Apakah engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kaudukakan?” Han Ki menggeleng kepala.
“Aku tidak menyusahkan apa-apa.” “Apakah engkau khawatir?” “Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku.”
“Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?” Kembali Han Ki menggeleng. “Sepanjang yang teringat olehku, tidak.”
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa. “Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap.
Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?” Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar.
Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka. “Ah, kenapa kausebut permainan pikiran, Lopek?” Han Ki bertanya.
“Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran.
Mengapa kaukatakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?” Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
“Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga.
Segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya.
Melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita.
Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka?
Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu.
Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran.
Tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya.
Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang men…..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader