BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! “Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin.
Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?”
“Kam Bu Sin….? Ayahku….? Nona, apa yang kaukatakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin….?” Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan.
“Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mujijat.
Dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit.
Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala.
Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup.
Masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.” Kam Han Ki menghela napas panjang.
“Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku.”
“Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka memper mainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu?
Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.”
“Suheng, mari kaubantu kami….!” Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.
“Nona, harap kauhentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.” “Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?” Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman.
Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka.
Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria.
Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata, “Khu-lihiap, Taihiap bicara benar.
Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!”
Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
“Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!” …..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader