BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan.
Menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang.
Agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban.
Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aselinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia.
Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling.
Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling.
Kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang. Siauw Bwee berhenti melangkah.
Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup.
Seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja.
Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul “Merindukan Bulan”. Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu.
Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat.
Suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
“Bulan…. tunggulah aku wahai bulan jangan kautinggalkan aku sendiri!
Bulan…. hanya engkaulah pengganti dia hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan…. ke mana engkau lari?
Ke mana engkau sembunyi?
Bulan…. kasihanilah aku wahai bulan jangan kau pergi…. jangan….!”
Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali.
Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, men…..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader