BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Selir cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selir nya termuda dan terbaru Bu Ci Goat. Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong.
Membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya.
Yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut.
Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian.
Mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus.
“Han Ki….saatnya aku harus pamit pada kalian bertiga”
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh.
Akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh, agaknya akan pamit selamanya pada tiga remaja ini.
Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini.
Dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
“Suhu….!” Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee.
Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya.
Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu.
Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
“Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku, aku akan pamit.
“Suhu….! Apa…. apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun.
Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai…BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader