BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – “Masih jauh daripada sempurna, Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras. Lihat baik-baik, juga kalian semua!”
Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali.
Tidak lebih indah daripada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya, teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali tidak bergoyang, seolah-olah hanya kejatuhan sehelai daun kering saja! Kemudian kakek itu mendarat kembali dan berkata.
“Untuk dapat menginjak teratai kayu tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan tekun. Apalagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai aseli, membutuhkan bakat dan latihan yang amat mendalam.”
Setelah berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke arah Han Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana di sebelah kiri pondok kelenteng.
Juga pondok sederhana ini dihias dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai putih.
“Bocah ini siapakah, Ayah?” Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka duduk di atas bangku.
“Namanya Han Han. Siapakah she-mu (nama keturunan), Han Han?”
“Aku she Sie bernama Han, biasa disebut Han Han,” jawab anak itu.
“Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua dari Pek-lian Kai-pang?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang? Dari mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?”
Han Han teringat bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca. Memang tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia ini pandai membaca.
Maka cepat-cepat ia berkata, “Aku hanya mengira-ngira saja, locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng, tentu merupakan sebuah kai-pang.
Adapun tentang namanya, di sini kulihat banyak sekali hiasan-hiasan berupa teratai putih, maka tentu saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini tentulah Pek-lian Kai-pang.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah calon muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan kelak untuk….”
“Aku tidak ingin menjadi murid locianpwe!” Han Han memotong cepat-cepat dengan suara nyaring.
“Wah, bocah sombong engkau!” Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya.
Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh wilayah Sungai Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi jembel busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?”
Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina sekali. “Aku bukan pengemis! Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis! Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang!”
“Lagaknya! Engkau pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!”……..BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader