BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – “Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!”
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas!
Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya.
Karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut.
Akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
“Apa…. apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?” Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apalagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana.
Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang.
Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding.
Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
“Jadi…. me…. mereka…. telah tewas….?” Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya.
“Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk….”
“Ahhhh….!” Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu.
Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup.
Apalagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
“Mengapa….? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa….?” dia berteriak penuh penasaran.
…….BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader