BEBASBARU.ID, MAHAKARYA-CERBUNG – Keraajan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata.
“Omitohud…., segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya!
Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan?
Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan.
Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita.
Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka,” kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala.
Yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling “maju” dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri.
“Akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian.
Penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. “Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan.
Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.
Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini. Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya.
Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana.
Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan.
Namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram.
Menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan…BERSAMBUNG
SUMBER: Microsoft reader